Betapa lucunya jodoh
itu. Banyak yang begitu mudah mendapatkannya, tapi banyak juga yang sulit menemukannya, seperti
saya. Ya, saya.
Jodoh itu gampang kalo
kamu ga pilih-pilih. Let's face the fact, kita mao beli pindang aja
milih-milih, gimana ga pilih-pilih coba mao nyari jodoh?
Jodoh itu ga usah
ditunggu-tunggu, ntar juga datang sendiri. Tapi jangan berhenti berusaha ya.
Okay, jadi bingung ga seh? Jangan ditunggu tapi juga jangan berhenti berusaha
ya? Trus kalo mao nunggu emang nunggu di mana? Emang bus? Kalo mao berusaha,
berusaha yang kaya apa? Berdoa udah kog. Insya Allah di setiap doa pasti yang
terselip di sana adalah doa agar segera dikaruniai jodoh yang bisa jadi imam
buat saya dan keturunan saya. Trus, usaha apa lagi? Ikut biro jodoh? Maaf,
bukannya gengsi atau apa. Tapi gimana kalo orang yang mao kenalan sama kita
ternyata malah nipu kita atau gimana? Iya kalo ga psycho. Lhah kalo iya? Atau
mungkin ta'aruf? Udah juga saya coba. Dikenalin ke temennya ortu pernah,
temennya temen pernah, tapi aneh-aneh aja yang ada. Maksudnya, ada yang against
women become journalists, ada yang gay juga, ada juga yang cuma sms, bbm sama sms-sms
iseng doang. Seorang sepupu yang saya curhati bilang: Nah mbak, hal-hal kaya
gitu ga bakal terjadi kalo mbak ga berprasangka buruk. Lha blom apa-apa mbak
udah negatif thinking seh.
Astaga naga panjangnya
bukan kepalang! Okelah kalo konteksnya masalah biro jodoh bole saya dibilang
agak parno, tapi kalo kenyataan udah jelas-jelas ybs ga beres masa saya masi
terusin usaha ta'arufnya? Jadi akhirnya kalimat dari sepupu saya cuma saya
telen aja sambil ngelus dada.
Yah, jadi emang jodoh
itu kaya lotere pula. Kalo emang beruntung ya bakal dapet duluan. Ga perlu pake
pilih-pilih, nunggu-nunggu apalagi woro-woro hehehe. Yang masi kurang beruntung
ya pasti emang harus nunggu puteran roulette nya muter. Buat yang ga tahan
nunggu malah kadang ambil jalan pintas yang gampang: jadi gay lah, lesbonglah,
bisekslah, atau malah suicide.
Astaghfirullah,
naudzubillah.
Mereka yang telah
menemukan jodoh (baca: suami atau istri) mungkin tidak akan mengerti apa yang
dirasakan oleh mereka yang sedang mengayuh sampan di tengah lautan manusia
hanya untuk menemukan pengayuh lainnya yang memang ditakdirkan untuknya. Mereka
selalu berkomentar bahwa para pengayuh ini adalah orang-orang idealis yang
sulit dimengerti apa maunya, sombong, atau pun pemilih. Tidak dapat mereka
bayangkan bahwa mengayuh sampan itu begitu berat, berat bukan karena mereka
melakukan itu sendirian. Tapi lebih berat karena ombak gosip dan bermacam-macam
badai tuduhan tidak benar maupun tidak bermutu (atau pun bermutu tapi rendah)
yang menghantam sampan mereka. Kalo memang begitu sulit untuk membayangkan
biarlah saya berikan ilustrasi sedikit.
Mata pelajaran apa yang
paling Anda anggap sulit dikuasai dulu waktu SMP/SMA? Apakah Anda sulit
mendapat nilai bagus sementara teman lain bisa menguasainya hanya dengan sekali
baca? Nah...kaya gitulah kira-kira rasanya. Hanya saja intensinya sekitar 100x
menyebalkan karena apa yang terjadi pada pejuang-pejuang pencari jodoh ini
tidak tahu kapan deadline nya akan berakhir, tidak ada kepastian apakah jodoh
sudah dekat atau pun jauh.
Saya termasuk satu dari
sekian banyak pengayuh sampan pencari jodoh itu. Saya menuliskan ini tidak
dengan pretensi agar Anda kasian atau kemudian tergopoh-gopoh membuka buku
kontak telepon mencarikan kami orang yang bisa diperkenalkan ke kami. TIDAK.
SAMA SEKALI TIDAK. Please, tidak ini bukan karena kami (saya) gengsi tapi lebih
pada kenyataan tulisan ini saya publish di blog agar Anda tau bahwa kami tidak
menderita karena kami belum menemukan separuh jiwa kami. Tapi kami banyak
menderita karena semua tudingan dan perkataan yang Anda rasa itu akan banyak
membantu kami tapi sejujurnya justru membuat kami merasa makin merasa gagal.
Sekian. Thanks for
reading.